BAB X AGAMA dan MASYARAKAT
Bab X
Agama dan Masyarakat
I. Fungsi Agama
dalam Masyarakat
Agama adalah fenomena hidup manusia.
Dorongan untuk beragama, penghayatan terhadap wujud agama serta bentuk
pelaksanaanya dalam masyarakat dapat berbeda, meskipun begitu pada hakekatnya
sama, yaitu, bahwa semua agama merupakan jawaban terhadap kerinduan manusia
yang paling dalam yang mengatasi semua manusia. Dalam kamus
sosiologi, pengertian agama ada 3 macam yaitu:
1. Kepercayaan pada hal-hal yang spiritual
2. Perangkat kepercayaan dan
praktek-praktek spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri
3. Ideologi mengenai hal-hal yang
bersifat supranatural
Ada tiga aspek yang dipelajari
berdasarkan fungsi agama dalam masyarakat yang menjadi fenomena sosial dalam
perilaku manusia, meliputi:
1. kebudayaan
2. system sosial, dan
3. kepribadian.
Seorang fungsionalis memandang agama
sebagai petunjuk manusia guna mengatasi dirinya dari ketidakpastian,
ketidakberdayaan, dan kelangkaan. Agama juga memberi sumbangan terhadap
pemeliharaan masyarakat serta bantu mendorong terciptanya perstujuan dan
kewajiban sosial, yang memberikan kekuatan memaksa, memperkuat, dan
mempengaruhi adat-istiadat.
- Fungsi
agama dalam pengukuhan nilai-nilai, Bersumber pada kerangka acuan bersifat
sacral, maka normanya pun dikukuhkan dalam sanksi-sanksi sakral.
- Fungsi
agama dibidang sosial, Adalah fungsi penentu dimana agama menciptakan
suatu ikatan bersama.
- Fungsi
agama sebagai sosialisasi individu, Adalah perkembangan sosialisasi yang
diarahkan dari kecil secara pasti dan konsisten dengan suara hatinya
tentang yang baik dan buruk.
II. Dimensi Komitmen
Agama
Masalah fungsionalisme agama dapat
dinalisis lebih mudah pada komitmen agama, menurut Roland Robertson (1984),
diklasifikasikan berupa keyakinan, praktek, pengalaman, pengetahuan, dan
konsekuensi.
a. Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang
religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan
mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama.
b. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu
perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata. Ini menyangkut,
pertama, ritual,yaitu berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan
religius formal, dan perbuatan mulia. Kedua, berbakti tidak bersifat
formal dan tidak bersifat publik serta relatif spontan.
c. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama
mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada
suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang
realitas tertinggi, mampu berhubungan,meskipun singkat, dengan suatu perantara
yang supernatural.
d. Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang
bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok
keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan
mereka.
e. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku
perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
III. Hubungan Agama dengan Masyarakat
Telah kita ketahui di Indonesia
memiliki banyak sekali budaya dan adat istiadat yang juga berhubungan dengan
masyarakat dan agama. Dari berbagai budaya yang ada di Indonesia dapat
dikaitkan hubungannya dengan agama dan masyarakat dalam melestraikan
budaya.Sebagai contoh budaya Ngaben yang merupakan upacara kematian bagi umat hindu
Bali yang sampai sekarang masih terjaga kelestariannya.Hal ini membuktikan
bahwa agama mempunyai hubungan yang erat dengan budaya sebagai patokan utama
dari masyarakat untuk selalu menjalankan perintah agama dan melestarikan
kebudayaannya.Selain itu masyarakat juga turut mempunyai andil yang besar dalam
melestarikan budaya, karena masyarakatlah yang menjalankan semua perintah agama
dan ikut menjaga budaya agar tetap terpelihara.
Tipe-Tipe Kaitan Agama dalam Masyarakat
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak
menggambarkan sebenarnya secra utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954) :
a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral.Masyarakat
tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyrakat menganut agama
yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam
kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang
lain. Sifat-sifatnya :
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sacral ke dalam system
nilai masyarakat secara mutlak.
2. Dalam keadaan lain selain keluarga relatif belum
berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan
persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
b. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang.Keadaan
masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi
darpada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada system nilai
dalam tiap mayarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sacral dan
yang sekular itu sedikit-banyaknya masih dapat dibedakan.
c. Masyarakat- masyarakat industri sekularMasyarakat industri
bercirikan dinamika dan teknologi semakin berpengaruh terhadap semua aspek
kehidupan, sebagian besar penyesuaian- penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi
yang penting adalah penyesuaian- penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan
sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai konsekuensi
penting bagi agama, Salah satu akibatnya adalah anggota masyarakat semakin
terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam
menanggapi masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular
semakin meluas. Watak masyarakat sekular menurut Roland Robertson (1984), tidak
terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama,
praktek agama, dan kebiasaan- kebiasaan agama peranannya sedikit.
IV. Perlembagaan Agama
Pelembagaan agama
adalah suatu tempat atau lembaga dimana tempat tersebut untuk membimbing
manusia yang mempunyai atau menganut suatu agama.
seperti di Indonesia
pelembagaan agamanya terutama agama islam seperti MUI, MUI itu sendiri
singkatan dari Majelis Ulama Indonesia, yang menghimpun para ulama indonesia
untuk menyatukan gerak langkah islam di Indonesia, MUI yang melembagai atau
membimbing suatu agama khususnya agama islam.
dengan kata lain
pelembagaan agama adalah wadah untuk menampung aspirasi-aspirasi di setiap
masing-masing agama. ketika ada selisih paham yang tidak sependapat dengan
agama yang bersangkutan, maka masalah tersebut di bawa ke pelembagaan agama,
untuk di tindak lanjuti.dengan memusyawarahkan masalah tersebut dan di ambil
keputusan bersama dan di sepakati bersama pula. selain MUI ada pula berbagai
perlembagaan agama lain seperti :
1. kristen :
Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI)
PGI dahulu disebut
Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI) yang didirikan pada 25 Mei 1950 di
Jakarta
2. Hindu : Persada
Parisada Hindu Dharma
Indonesia ( Parisada ) ialah : Majelis tertinggi umat Hindu Indonesia.
3. Budha : MBI
Majelis Buddhayana
Indonesia, majelis ini didirikan oleh Bhante Ashin Jinarakkhita pada hari
Asadga 24499 BE tanggal 4 Juli 1955 di Semarang, tepatnya di Wihara Buddha Gaya, Watugong, Ungaran, Jawa
Tengah, dengan nama Persaudaraan Upasaka-Upasika Indonesia (PUUI) dan diketuai
oleh Maha Upasaka Madhyantika S. Mangunkawatja.
4. Koghuchu : Matakin
V. Konflik Yang Ada
Dalam Agama
umumnya berhubungan
dengan perilaku-perilaku, hakikat, dan tujuan hidup menurut kaidah-kaidah
agama. Misalnya perilaku-perilaku yang tidak sesuai dengan ajaran-ajaran agama
seperti memfitnah, berdusta, mencuri, menganiaya dan lain-lain. Contohnya
tekanan terhadap kaum minoritas (kelompok agama tertentu yang dianggap sesat,
seperti Ahmadiyah) memicu tindakan kekerasan yang bahkan dianggap melanggar Hak
Asasi Manusia. Selain itu, tindakan kekerasan juga terjadi kepada perempuan,
dengan menempatkan tubuh perempuan sebagai objek yang dianggap dapat merusak
moral masyarakat. Kemudian juga terjadi kasus-kasus perusakan tempat ibadah
atau demonstrasi menentang didirikannya sebuah rumah ibadah di beberapa tempat
di Indonesia, yang mana tempat itu lebih didominasi oleh kelompok agama
tertentu sehingga kelompok agama minoritas tidak mendapatkan hak.
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada
pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai
dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam
UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara
memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari
negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan
beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan
di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi
kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang
mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau
yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di
Indonesia.
Sumber
:
http://elearning.gunadarma.ac.id/docmodul/mkdu_isd
https://abiand.wordpress.com/tugas/9-agama-dan-masyarakat/
http://eliana-hubunganagamadanmasyarakat.blogspot.com/
https://nathaniaseptavy.wordpress.com/tag/pelembagaan-agama/
http://chadeldwiandari.blogspot.com/2011/01/agama-dan-pelembagaan-agama.html
http://indonetedu.blogspot.com/2014/09/macam-macam-bentuk-konflik-sosial.html
Bab X
a. Dimensi keyakinan mengandung perkiraan atau harapan bahwa orang yang religius akan menganut pandangan teologis tertentu, bahwa ia akan mengikuti kebenaran ajaran-ajaran agama.
b. Praktek agama mencakup perbuatan-perbuatan memuja dan berbakti, yaitu perbuatan untuk melaksanakan komitmen agama secara nyata. Ini menyangkut, pertama, ritual,yaitu berkaitan dengan seperangkat upacara keagamaan, perbuatan religius formal, dan perbuatan mulia. Kedua, berbakti tidak bersifat formal dan tidak bersifat publik serta relatif spontan.
c. Dimensi pengalaman memperhitungkan fakta, bahwa semua agama mempunyai perkiraan tertentu, yaitu orang yang benar-benar religius pada suatu waktu akan mencapai pengetahuan yang langsung dan subjektif tentang realitas tertinggi, mampu berhubungan,meskipun singkat, dengan suatu perantara yang supernatural.
d. Dimensi pengetahuan dikaitkan dengan perkiraan, bahwa orang-orang yang bersikap religius akan memiliki informasi tentang ajaran-ajaran pokok keyakinan dan upacara keagamaan, kitab suci, dan tradisi-tradisi keagamaan mereka.
e. Dimensi konsekuensi dari komitmen religius berbeda dengan tingkah laku perseorangan dan pembentukan citra pribadinya.
III. Hubungan Agama dengan Masyarakat
Tipe-Tipe Kaitan Agama dalam Masyarakat
Kaitan agama dengan masyarakat dapat mencerminkan tiga tipe, meskipun tidak menggambarkan sebenarnya secra utuh (Elizabeth K. Nottingham, 1954) :
a. Masyarakat yang terbelakang dan nilai-nilai sakral.Masyarakat tipe ini kecil, terisolasi, dan terbelakang. Anggota masyrakat menganut agama yang sama. Oleh karenanya keanggotaan mereka dalam masyarakat dan dalam kelompok keagamaan adalah sama. Agama menyusup ke dalam kelompok aktivitas yang lain. Sifat-sifatnya :
1. Agama memasukkan pengaruhnya yang sacral ke dalam system nilai masyarakat secara mutlak.
2. Dalam keadaan lain selain keluarga relatif belum berkembang, agama jelas menjadi fokus utama bagi pengintegrasian dan persatuan dari masyarakat secara keseluruhan.
b. Masyarakat praindustri yang sedang berkembang.Keadaan masyarakatnya tidak terisolasi, ada perkembangan teknologi yang lebih tinggi darpada tipe pertama. Agama memberikan arti dan ikatan kepada system nilai dalam tiap mayarakat ini, tetapi pada saat yang sama lingkungan yang sacral dan yang sekular itu sedikit-banyaknya masih dapat dibedakan.
c. Masyarakat- masyarakat industri sekularMasyarakat industri bercirikan dinamika dan teknologi semakin berpengaruh terhadap semua aspek kehidupan, sebagian besar penyesuaian- penyesuaian terhadap alam fisik, tetapi yang penting adalah penyesuaian- penyesuaian dalam hubungan kemanusiaan sendiri. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai konsekuensi penting bagi agama, Salah satu akibatnya adalah anggota masyarakat semakin terbiasa menggunakan metode empiris berdasarkan penalaran dan efisiensi dalam menanggapi masalah kemanusiaan, sehingga lingkungan yang bersifat sekular semakin meluas. Watak masyarakat sekular menurut Roland Robertson (1984), tidak terlalu memberikan tanggapan langsung terhadap agama. Misalnya pemikiran agama, praktek agama, dan kebiasaan- kebiasaan agama peranannya sedikit.
IV. Perlembagaan Agama
Permasalah konflik dan tindakan kekerasan ini kemudian mengarah kepada pertanyaan mengenai kebebasan memeluk agama serta menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaan tersebut. Seperti yang kita ketahui bahwa dalam UUD 1945, pasal 29 Ayat 2, sudah jelas dinyatakan bahwa setiap warga negara memiliki hak yang sama dalam memeluk agama dan akan mendapat perlindungan dari negara.
Pada awal era Reformasi, lahir kebijakan nasional yang menjamin kebebasan beragama di Indonesia. Namun secara perlahan politik hukum kebijakan keagamaan di negeri ini mulai bergeser kepada ketentuan yang secara langsung membatasi kebebasan beragama. Kondisi ini kemudian menyebabkan terulangnya kondisi yang mendorong menguatnya pemanfaatan kebijakan-kebijakan keagamaan pada masa lampau yag secara substansial bertentangan dengan pasal HAM dan konstitusi di Indonesia.
Komentar
Posting Komentar